Festival Pulau Makasar

Rating: 82 out of 100, by 62 users
Semarak Perayaan Festival Pulau Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau Makasar

Bau-Bau adalah sebuah nama kota setingkat ibukota kabupaten. Kota ini berada di pulau Buton, sebuah pulau penghasil aspal terbesar di Indonesia yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Berada di sebuah pulau yang letak nya strategis, Bau-Bau menjadi kota transit yang menarik untuk di kunjungi. Selain menjadi batu pijakan untuk menuju Wakatobi, destinasi wisata bahari yang sudah terkenal di manca negara, kota Bau-Bau memiliki keunikan tersendiri selain tentu nya tempat-tempat menarik yang layak di kunjungi.

Salah satu event yang layak ditilik di Bau-Bau adalah Festival Perairan Pulau Makasar. Dua versi berkembang yang menjadi ikhwal mengapa pulau yang bukan berada di Sulawesi Selatan ini di namakan ‘Makasar’. Versi yang pertama adalah konon pulau ini di hibahkan oleh Sultan Buton kepada para bangsawan pendamping Aru Palaka, bangsawan Bone penentang kerajaan Gowa di masa lalu. Aru Palaka sendiri lolos dari pencarian pasukan Gowa karena Sultan Buton menyembunyikan dirinya di wilayah pemerintahan kesultanan.

Hampir sama dengan versi yang pertama, versi lain nya mengatakan bahwa pulau ini adalah tempat yang dihibahkan oleh sultan Buton kepada bangsawan Gowa yang gagal menangkap Aru Palaka yang melarikan diri ke Buton. Para bangsawan dari Gowa ini tidak berani kembali ke kerajaan nya karena hukuman pancung telah menanti mereka bila pulang tanpa membawa Aru Palaka.

Namun versi apapun yang benar, festival Puma (pulau Makasar) tetap memancing minat warga Bau-Bau maupun pendatang untuk berkunjung ke pulau yang diperkirakan usianya sudah mencapai ratusan tahun ini. Ritual ‘Tuturiangana Andala’ kerap menjadi prosesi yang menjadi salah satu bagian festival Puma. Ritual yang merupakan panjatan rasa syukur ini berintikan permohonan kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan hasil laut kepada masyarakat dan permohonan agar senantiasa hubungan antara alam manusia tetap terjalin secara harmonis.

Dalam ritual ini dua jenis sesajen di persembahkan. Satu untuk dilarung ke laut, dan yang lain nya di darat, namun kedua nya berada di empat tempat yang berbeda yaitu bukit kolema, jangkara, kau malanga dan latonda kau. Keempat titik tersebut di percaya sebagai pusat-pusat kekuatan alam yang menjaga wilayah di sekitar pulau makasar.

Sebelum nya, ‘pakande-kandea’ pun di gelar, acara makan-makan bersama kuliner khas masyarakat setempat ini menarik untuk di simak. Para wanita yang mengenakan busana adat suku Wolio, cantik berjejer ‘mengawal’ nampan-nampan bermaterikan kuningan yang di atas nya telah di letakkan beragam makanan.

Aneka hidangan laut seperti udang, aneka ikan bakar dan lapa-lapa (beras yang disiram santan kelapa lalu dimasak setelah sebelumnya di balut dengan daun kelapa) lengkap terhidang. Di atas nampan-nampan tersebut tersaji pula kudapan khas daerah seperti kue bolu, onde-onde dan ‘cucuru’ (kue cucur). Tari-tarian tradisional pun di pertontonkan seperti tari Lumense, tari Pajoge, tari Kalegoa dan lain-lain.

Di festival Puma, lomba perahu naga dan parade kapal-kapal nelayan juga bisa di saksikan. Masyarakat pulau setempat kerap membuat perahu-perahu baru dengan beragam hiasan nya untuk bersama-sama melaju di atas riak ombak di laut. Nah, kalau lomba dayung dan konvoi telah di mulai, selain di pantai Lakorapu (pantai di pulau Makasar), hanya ada dua tempat yang tepat di mana kedua kegiatan ini bisa di nikmati, yaitu bukit Wantiro dan bukit Kolema di kota Bau-Bau.

Kedua bukit ini memiliki view laut yang langsung berhadapan dengan pulau Makasar. Tempatnya yang berada di ketinggian pun menjadikan pemandangan lepas di sekeliling nya dengan mudah bisa dinikmati. Kedua bukit ini berada kurang lebih setengah jam perjalanan dari pusat kota Bau-Bau.

Selain sebagai tempat favorit untuk menyaksikan konvoi kapal nelayan dan lomba perahu naga, sebenar nya bukit Wantiro dan Kolema memliki juga area yang menarik untuk sekedar bercengkrama atau menghabiskan waktu menunggu senja tiba. Pemandangan terbenam nya matahari teramat elok bila di saksikan dari kedua bukit ini. Kedua bukit yang lokasi nya berdekatan ini juga memiliki view kota Bau-Bau yang gemerlap lampu-lampu kota nya sangat indah bila dinikmati di malam hari.

Meski susunan acara dan jenis kegiatan nya kerap berganti, lomba renang juga pernah diadakan di festival Puma. Menempuh jarak sejauh hampir 2,5 Km, lomba ini berawal dari pesisir pantai di pulau Makasar sebagai garis start nya dan berakhir di pantai Kokakoluna yang berada kurang lebih 8 Km dari pusat kota Bau-Bau. Terkadang kapal-kapal perang dari angkatan laut Indonesia juga berpartisipasi dengan menyediakan pengobatan masal bagi masyarakat setempat.

Kedatangan KRI ini juga tentu nya menjadi tontonan tersendiri bagi yang menarik. Festival yang diadakan oleh pemerintah kota Bau-Bau di setiap bulan Juli ini telah di agendakan sebagai festival tahunan untuk dapat dinikmati warga nya atau wisatawan domestik dan manca negara.

Nah tunggu apalagi, bila anda belum pernah menginjakan kaki di kota Bau-Bau, segera rencanakan perjalanan anda ke sana dan keramahan masyarakat serta keindahan alam pulau Buton akan menyambut kedatangan anda.

Sejarah pulau makasar

Nama Makassar begitu populer. Ada Kampung Makassar di Cape Town, Afrika Selatan, Makassar di Madagaskar, bahkan di Indonesia nama kampung Makassar begitu menggurita, pertanda hegemoni Makassar begitu besar pada masa lalu. Di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, tak terkecuali, ada sebuah pulau yang juga berlabel Makassar, namanya Pulau Makasar (bukan dengan dua ‘S’). Banyak cerita tersimpan di pulau nan cantik itu.

Umur Pulau Makasar diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Ini dapat dilihat dari prasasti makam Sultan Buton VIII Mardan Ali atau Oputa Yi Gogoli yang terdapat di pulau seluas lebih kurang 10 kilometer persegi tersebut, antara tahun 1647 dan 1654. Hal itu dapat pula dikaitkan dalam sejarah Kerajaan Buton yang ditulis A Ligtvoet tahun 1887 yang menyiratkan asal-usul nama Pulau Makasar.

Disebutkan, pada tahun 1666 Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang dianggap melindungi Aru Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Aru Palakka yang adalah putra bangsawan Bone melarikan diri ke Buton pada tahun 1660. Dia diterima baik oleh Sultan Buton sehingga kemudian melahirkan ikrar kerja sama antara Buton dan Bone bahwa Buton adalah Bone Timur dan Bone adalah Buton Barat. Konon, waktu ke Buton, Aru Palakka ikut membawa putri Raja Gowa bernama Daeng Talele yang telah diperistri.

Pada akhir tahun 1666, Batavia mengirim pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, di antaranya termasuk Aru Palakka.

Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Liwuto artinya pulau.

Tawanan perang tersebut kemudian dilepas oleh Sultan Buton setelah pasukan Belanda meninggalkan Buton untuk pergi ke Ternate. Menurut Ligtvoet, pelepasan itu dilakukan setelah pimpinan pasukan Gowa membayar tebusan.

Setelah peristiwa itu, Liwuto lebih dikenal dengan sebutan Pulau Makasar. Banyak versi yang berkembang ikhwal penamaan Pulau Makasar itu. Pertama, di sanalah tempat para hulubalang dan pendamping Arung Palakka diberi tempat bermukim oleh Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis.

Versi lain menyatakan bahwa pulau seluas 104 kilometer persegi itu diberi nama serupa dengan ibu kota Sulawesi Selatan karena di sanalah para pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman. Sepasukan prajurit itu enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu Gowa, Arung Palakka. Selain itu, jika mereka gagal, maka hukuman dari raja sudah menanti.

Adapun pada versi lain ada klaim bahwa pulau yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna itu dulunya adalah tempat tawanan 5.500 pasukan Bontomarannu yang ditangkap oleh pasukan Kompeni-Arun Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa menyerang Buton pada 1666.

Dalam perkembangannya lagi, tahun 1980-an, orang lebih populer menyebutnya Puma, singkatan dari Pulau Makasar. Walau nama Liwuto tetap diabadikan sebagai nama kelurahan di bagian timur pulau tersebut (Kelurahan Liwuto). Di Kelurahan Liwuto, terdapat satu kampung bernama Bone. Entah apakah ada kaitannya dengan nama Bone di Sulsel atau tidak, yang jelas, bone dalam bahasa lokal berarti pasir.

Perjalanan dari Kota Bau-Bau ke Puma tidak sampai setengah jam dengan menumpangi ojek laut “jarangka” atau perahu mesin tempel. Sepanjang perjalanan, kita dapat menyaksikan birunya laut yang masih relatif bersih. Sesekali kita melihat ikan melompat memperlihatkan kepalanya di atas permukaan air laut.

Di Puma kita dapat menjumpai sejumlah tempat wisata yang oleh masyarakat setempat sendiri tidak disadari sebagai tempat wisata. Di antaranya makam Sultan Buton VIII Mardan Ali yang terletak di depan kantor Kelurahan Liwuto. Di Puma ada dua kelurahan, yakni Kelurahan Liwuto dan Kelurahan Sukanayo. Awalnya, dua kelurahan tersebut masuk dalam Kecamatan Wolio yang berkedudukan di jantung Kota Bau-Bau. Sama halnya dengan Kelurahan Tomba dan Kelurahan Wale.

Secara historis, Puma pernah menjadi pusat distrik (pemerintahan). Kampung-kampung (sekarang kelurahan) dekat Puma, seperti Lowulowu dan Kalialia, masuk dalam satu distrik yang dipimpin La Samahu (almarhum). “Waktu itu, bila orang Lowulowu dan Kalialia hendak bepergian, mereka datang mengurus pas jalan di Puma,” ungkap Idien, pensiunan pegawai (PNS) Kelurahan Liwuto.

Selain menjumpai makam Sultan Buton VIII, di Puma juga kita masih mendapatkan sejumlah tempat bersejarah lainnya, seperti Goa Keramat atau “Liana Binte” yang terletak di lingkungan Tanjung Batu, ujung Puma bagian selatan yang berhadapan langsung dengan Kota Bau-Bau. Gua tersebut sejak puluhan tahun ini ditutup dengan batu besar. Konon, orang-orang tua dahulu menjadikan goa itu sebagai tempat bertapa untuk mendapatkan ilmu sakti.

Tidak jauh dari gua terdapat tebing tinggi yang cukup strategis untuk dibangun industri pariwisata bidang perhotelan. Pemandangan dari atas tebing tinggi itu sangat fantastis sehingga cocok jika di sana dibangun hotel berbintang. Dari tebing itu, Kota Bau-Bau rasanya bisa digenggam.

Pasir Baana Bungi memang bagus untuk bahan bangunan sebab butirannya agak kasar. Teksturnya berbeda dengan pasir putih yang ada di dua Kabungi-bungi lainnya, yang cukup halus. Pasir yang ini dapat diibaratkan seperti butiran tepung terigu.

Di Puma juga kita dapat menjumpai hasil kerajinan pertukangan kayu, mulai dari lemari, ranjang, hingga perabotan lain yang terbuat dari kayu jati. Tukang kayu di Puma tergolong terampil, bahkan mereka mengerjakan rumah hingga di Kota Bau-Bau dan Kendari.

Walaupun secara administratif Puma masuk dalam wilayah Kota Bau-Bau, nuansa alaminya masih sangat kental. Keheningan tanpa hiruk-pikuk kendaraan bermotor menjadi nuansa yang amat dominan. Hanya terdapat belasan sepeda motor, tidak ada mobil. Di daratan Puma belum ada jalan raya, kecuali garis-garis jalan setapak yang membelah blok-blok perkampungan penduduk. Sebagian jalan setapak itu telah dikeraskan dengan semen melalui proyek pengembangan kecamatan, dan sebagian lagi masih jalan tanah.

Kini nama Pulau Makasar makin mendunia dengan dilaksanakannya ajang wisata tahunan dengan tajuk Festival Perairan Pulau Makasar,

Tips menyaksikan Festival Perairan Pulau Makasar (FPPM) di Bau-Bau:

keramaian Festival Pulaui Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau Makasar
Festifal Pulau Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau Makasar

• Pulau Makasar dapat di tempuh dari kota Bau-Bau dengan lama perjalanan ± 25 menit. Perahu kayu bermesin bisa di gunakan dengan tarif sewa Rp. 3000 / orang di hari biasa atau Rp. 5000 / orang* bila ada event seperti FPPM. Masyarakat moda transportasi ini dengan istilah : ‘jhonson / jonso’ atau ‘katinting’. Pelabuhan nya ada di dekat Pantai Kamali, Bau-Bau

• Bila ingin menuju bukit Wantiro dan Kolema bisa memakai ojek dengan harga yang wajar Rp. 5.000 per orang

 

Galeri dari berita tentang Festival Pulau Makasar

Ada 4 potret di dalam Festival Pulau Makasar berita. Klik thumbnail dibawah ini untuk melihat semua 4 potret high-res.

Semarak Perayaan Festival Pulau Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau MakasarFestifal Pulau Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau Makasarkeramaian Festival Pulaui Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau MakasarPerahu Perahu Falam Festival Pulau Makasar - Sulawesi Utara : Festival Pulau Makasar

Apa pendapatmu tentang Festival Pulau Makasar

Tinggalkan Komentarmu soal Festival Pulau Makasar Dibawah ini:

Artikel Terbaru:

Pantai Pok Tunggal, Gunung Kid
Yogyakarta tidak lepas dari pantai - pantainya yang menawan. Di antara Pantai Indrayanti ...

Gili Ketapang, Probolinggo –
Gili Ketapang adalah sebuah desa dan pulau kecil di selat Madura, tepatnya 8 km ...

Pantai Wai Ipa, Sula – Maluk
Kepulauan Maluku dan Maluku Utara banyak terdapat pantai-pantai indah dan cantik yang belum banyak ...

Bajo Pulo ( Pulau Bajo ), Sumb
Nusa tenggara Barat tidak hanya punya Gili Trawang dan Gili Nanggu. Provinsi ini ...

Gabung Yuk dengan Komunitas Pecinta Pantai Indonesia di FB, Klik Like:

Lokasi Pantai di Indonesia

Topik Populer

Pantai Populer

Pantai Batu Gong, Kendari – Sulawe
Pulau Temajo, Singkawang – Kalimantan
Pulau Berhala, Sumatera Utara
Pantai Teupin Layeu dan Pantai Teupin Si
Pantai Piayu Laut, Batam – Kepulau
Pantai Pangumbahan Ujung Genteng, Sukabu
Pantai Talang Siring, Madura – Jawa Ti
Pantai Ujong Blang, Lhokseumawe –

Indek Artikel : A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z - 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indek Gambar : A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z - 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Semua artikel pada web ini adalah hak cipta dari pasirpantai.com, atau sumber lain yang dicantumkan.
Semua gambar, foto dan video pada web ini adalah hak cipta dari pemiliknya.