Hampir di setiap kota besar selalu terdapat alun-alun yang menjadi pusat hiburan warga nya, seperti alun-alun Taman Surya di kota Pahlawan, Surabaya atau alun-alun Karebosi di Makassar. Tiap alun-alun punya kelebihan nya masing-masing.
Di kota Baubau, sebuah kota kecil di Pulau Buton juga terdapat alun-alun yang selain menjadi tempat bercengkrama para warga nya, alun-alun ini kerap jadi pusat hiburan. Berbeda dengan kebanyakan alun-alun yang sebagian besar berada persis di tengah-tengah kota, alun-alun milik kota Baubau berada persis di pinggiran pantai.
Karena nya, alun-alun yang bernama ‘Pantai Kamali’ ini memiliki pemandangan pantai dan selat Buton sebagai kelebihan nya. ‘Kamali’ adalah sebutan bagi suku Wolio untuk rumah tinggal dari seorang Sultan yang sedang menjabat. Hampir setiap hari di petang hingga pertengahan malam, Pantai Kamali selalu di kunjungi para warga nya atau pendatang.
Akses
Karena letak Pantai Kamali yang strategis dan berada di pusat kota, kamu bisa mencapainya dengan mudah menggunakan kendaraan darat baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Ada pula becak bermotor atau yang biasa disebut dengan bentor yang siap mengantarmu sampai larut malam. Kamu cukup membayar Rp. 5.000 untuk naik bentor menuju Pantai Kamali.
Tentang Pantai Kamali
Makassar punya Pantai Losari, Bau Bau punya Pantai Kamali. Ya, Pantai Kamali memang merupakan pantai kebanggaan Kota Bau Bau. Pantai ini berada di tengah kota Bau Bau, Propinsi Sulawesi Tenggara. Karena letaknya yang mudah dijangkau, tempat ini selalu ramai pengunjung baik pada hari biasa maupun hari libur.
Wilayah di Pantai Kamali ini terbagi menjadi 3 bagian :
Bagian timur : merupakan area yang di sampingnya banyak penjual aksesoris lesehan, mainan anak seperti mandi bola, memancing ikan magnet dll. Pedagang-pedagang ini hanya berjualan pada malam hari karenan pada siang hari mereka dilarang untuk berjualan di area ini.
Bagian tengah : terdapat patung kepala naga yang menjadi maskot Kota Bau Bau. Pada malam hari mata patung kepala naga tersebut akan kelihatan berwarna merah menyala. Patung yang dibangun pada tahun 2007 ini merupakan simbol yang melambangkan kekuatan, kegigihan dan kejayaan Kerajaan Buton yang pernah berkuasa dan memiliki kecerdasan seperti naga. Di depan patung kepala naga ini, persisnya di pinggir pantai terdapat banyak pedagang makanan terutama makanan khas yaitu gorengan dan saraba. Saraba merupakan minuman khas Sulawesi yang terbuat dari air jahe mirip dengan wedang bajigur atau bandrek di Jawa. Cukup dengan Rp. 5.000 kamu dapat menikmati secangkir saraba.
Bagian barat : awalnya tempat ini digunakan untuk parkir kendaraan dan ruang pameran kerajinan namun sekarang didominasi oleh pedagang kaki lima.
Suasana Pantai Kamali terasa hidup dan meriah pada malam hari. Di tempat ini juga sering dijadikan tempat untuk menggelar event-event penting. Fasilitas hotspot dan arena bermain anak pun tersedia di obyek wisata ini.
Wisata
Baubau sendiri adalah sebuah kota dagang, kota yang berpenduduk hampir 140.000 jiwa ini berada di lokasi yang strategis bagi jalur pelayaran yang menghubungkan wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian Timur. Tak heran, meski tak banyak yang menyadari, kota yang merupakan ibukota kesultanan Buton di masa yang lalu ini memiliki peran yang penting bagi arus pergerakan manusia dan barang.
Tak jauh di sebelah kanan Pantai Kamali berada, terdapat pelabuhan Murhum, yang merupakan pelabuhan penumpang yang kerap di singgahi kapal-kapal milik PT. PELNI. Alun-alun ini juga berada tak jauh dari pelabuhan rakyat ‘Jembatan Batu’ yang merupakan pelabuhan barang.
Berada di pinggir pantai dan berdekatan dengan kedua pelabuhan tersebut manjadikan Pantai Kamali memiliki view yang menarik sekaligus mempesona.
Menjelang matahari terbenam adalah saat yang tepat untuk berkunjung ke Pantai yang tetap indah meski tak memiliki bentangan pasir ini. Panorama sang surya yang perlahan tengah menuju peristirahatan nya begitu menakjubkan.
Cahaya kuning keemasan dengan sedikit rona merah berbaur menjadi satu bak menghiasi cakrawala. Langit biru terbentang bagai lukisan, awan-awan nya yang putih seakan berpijak di horizon selat Buton.
Hijau nya pulau Muna yang berdiri gagah di seberang pantai ini memberikan sentuhan tersendiri. Hilir mudik kapal-kapal kayu tradisional bisa di saksikan di Pantai Kamali. Demikian pula pemandangan kedatangan kapal-kapal yang siap menurunkan penumpang di pelabuhan Murhum, atau juga menjadikan pelabuhan ini sebagai tempat transit.
Tak jarang bunyi ‘stoom’ kapalnya terdengar hingga ke Pantai Kamali, menjadikan peristiwa ini pelengkap pengalaman tersendiri. Pemandangan lampu-lampu kapal yang mulai di nyalakan pun berpadu dengan temaram nya senja di Baubau.
Pengaruh Patung Naga
Sebuah patung kepala naga berwarna hijau berdiri gagah di tengah alun-alun, seolah mengawasi siapapun yang berlayar di selat buton. Selain buah nenas, patung naga memang banyak menghiasi arsitektur bangunan di kota berslogan ‘Semerbak’ (Sejahtera, Menawan, Ramah, dan Bersih) ini.
Sebuah riwayat masa lalu memang menjadi alasan mengapa seekor ‘Lawero’ – demikian seekor naga di sebut oleh warga Baubau – banyak menjadi ornamen penghias bangunan di Baubau atau Buton. Konon, terdapat hewan sebangsa ular yang pernah hidup di kepulauan Buton, ukuran nya sebesar jari tangan manusia.
Hewan yang memang mirip naga ini memiliki rumbai atau surai di kepala nya. Ular ini juga mengeluarkan suara khas mirip seekor ayam dan sering terlihat di batang-batang ‘Libo’, sebuah tanaman lokal yang tumbuh di kepulauan Buton.
Terdapat juga versi lain yang menjadikan patung naga banyak terlihat di bangunan-bangunan warga maupun instansi pemerintah. Sejarah mencatat, seorang laksamana kerajaan Mongol pernah singgah di Buton.
Namanya adalah ‘Kau Shing’ atau ‘Dungku Changia’. Ia adalah salah satu dari tiga laksamana laut yang di utus oleh raja Mongol untuk menaklukan kerajaan Kertanegara di pulau Jawa. Namun karena kekalahan yang di derita akibat kecerdikan Raden Wijaya, Dungku Changia pun melarikan diri.
Alih-alih kembali ke negara nya, Dungku Changia menuju ke pulau Buton. Simbol-simbol negara dan rakyat nya pun menjadi di kenal oleh suku asli mayoritas pulau Buton yaitu suku Wolio, termasuk seekor naga.
Bahkan suku ‘Cia-cia’, suku yang juga telah bermukim di Buton sejak lama konon dianggap memiliki garis turunan yang awal nya adalah bangsa Mongol.
Di malam hari, para pengunjung yang menikmati suasana pinggir pantai di Pantai Kamali bisa menikmati udara segar nya sambil menyantap aneka sajian gorengan yang banyak di jajakan di sekitar pantai.
Bila angin pantai yang berhembus cukup kencang dan mendinginkan badan, ‘Saraba’ sangat cocok untuk di cicipi. Minuman lokal sejenis STMJ (Susu, Telor, Madu, Jahe) ini memang membawa kehangatan bagi yang meminumnya. Kapal-kapal kecil nelayan yang berlabuh dan mencari ikan di laut lepas bisa di saksikan sembari bercengkrama dengan keluarga, teman dekat maupun kolega.
Selain Pantai Kamali, Baubau juga memiliki pantai lain yang tak kalah mempesona seperti Pantai Nirwana dan Lakeba. Kota budaya ini juga memiliki bentangan benteng kraton kesultanan Buton beserta bukti-bukti kearifan lokal masa lalu nya.
ini bisa di jangkau dari Makassar dengan menempuh perjalanan udara selama hampir 1 jam, atau juga bisa di capai lewat Kendari dengan menggunakan moda transportasi laut. Sebuah kapal cepat dengan waktu tempuh 5 jam-an akan menghantarkan siapa pun yang akan berkunjung ke sana.
Sejarah Sang Naga Di Pantai Kamali
Naga dikenal sebagai hewan mistis yang tidak pernah ada, namun seakan pernah hidup dalam folklor atau dongeng bangsa Cina. Keberadaan naga di Buton bisa tafsir bahwa di masa lalu, pernah terjadi kontak atau dialog dengan kebudayaan Cina melalui kehadiran sejumlah tokoh asal Cina di tanah Buton.
Misalnya adalah pria yang dikenal sebagai Dungku Changia. Tokoh ini sangat penting sebab punya andil besar pada terbentuknya Kerajaan Buton, sekitar 500 tahun silam. Menurut sejarawan lokal di Buton, tokoh ini merupakan salah seorang dari tiga laksamana Mongol yang datang ke Tanah Jawa untuk menghukum Raja Kertanegara, Raja Singosari yang terakhir. Dikisahkan bahwa pada masa itu, Kertenegara tidak mau tunduk pada kekuasaan Mongol dan melukai utusan Mongol bernama Meng Chi yang datang menghadap. Penghinaan ini dibalas Mongol dengan mengirimkan ribuan armada perang untuk menghukum Kertanegara, dan salah satu dari tiga laksamana yang memimpin armada itu adalah Dungku Changia atau Kau Shing.
Sayangnya, setiba di jawa, ternyata pemerintahan Kertanegara sudah berakhir sebab dikudeta oleh Jayakatwang dari Kediri. Seorang pria bernama Raden Wijaya berhasil memperalat bangsa Mongo, tersebut untuk menyerang Jayakatwang, kemudian ia juga berhasil memperdaya pasukan Mongol itu sehingga berhasil dikalahkan dengan cara yang licik. Ini adalah versi sejarah yang sangat populer di Indonesia. Namun, sejarah hanya mencatat bagaimana Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mendapatkan kejayaan di Nusantara. Sejarah tak punya cerita bagaimana selanjutnya nasib ketiga laksamana yang memimpin bala tentara Mongol tersebut.
Orang Buton punya cerita bagaimana kelanjutan kisah tersebut. Bersama pengiringnya, Kau Shing melarikan diri dan tak hendak kembali ke Mongol. Dia lalu singgah ke Tanah Buton dan kemudian mengaku sebagai Dungku Cangia. Banyak sejarawan lokal yang menduga bahwa ikhwal naga ini berawal dari kehadiran Dungku Cangia di Tanah Buton.
Namun, itu hanyalah satu versi sejarah yang paling populer. versi lainya, Naga populer bernama Lawero itu pernah hidup di Buton pada suatu masa. Kata sejarawan itu, Lawero tidak sama dengan naga, namun bentuknya mirip dengan naga. Lawero berbentuk seperti ular, namun punya surai atau semacam rumbai-rumbai di badannya. Hewan itu berukuran kecil seperti jari tangan, dan biasa ditemukan di pohon libo (saya tidak tahu apa nama latin pohon ini, namun waktu kecil buahnya sering saya jadikan roda untuk mobil-mobilan).
Lawero bisa berkok seperti ayam. Dulunya, Lawero bisa ditemukan di Buton, namun belakangan ini sudah lenyap. Menurut versi yang saya temukan, gambar Lawero yang paling mendekati kenyataan adalah patung yang dulunya dipasang di atap rumah anjungan Sulawesi Tenggara di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta.
Sayangnya, pada masa Gubernur Laode Kaimuddin, rumah tersebut sudah dibongkar dan diganti dengan rumah adat lainnya. Menurut sejarawan yang saya wawancarai tersebut, replika yang sekarang ini paling mendekati kenyataan adalah patung Lawero di atap Kantor Bupati Buton di Pasarwajo. Sayangnya, bentuk hiasan di kepalanya berbentuk seperti jambul ayam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.
Ada 5 gambar di dalam pantai Kamali, Bau Bau – Sulawesi Tenggara berita. Klik thumbnail dibawah ini untuk melihat semua 5 gambar high-res.
Artikel Terbaru:
Pantai Samudra Indah, BengkayaLokasi pantai Samudra indah berada di Dusun Tanjung Gundul desa Karimunting Kecamatan Sui ...
Pantai Modangan, Malang – JaKota Malang dikenal menyimpan banyak pantai yang indah. Pantai-pantai eksotik itu membentang mulai ...
Pulau Walo, Raja Ampat –Walaupun ada ratusan pulau di penjuru Kabupaten Raja Ampat, namun ada beberapa pulau ...
Pantai Batu Bedaun di KepulauaPantai Batu Bedaun Terletak di kampung Bukit Kuala, Kelurahan Sinar Jaya, Kecamatan Sungailiat ...
Gabung Yuk dengan Komunitas Pecinta Pantai Indonesia di FB, Klik Like:
Lokasi Pantai di Indonesia
Topik Populer
Indek Artikel : A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z - 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indek Gambar : A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z - 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Semua artikel pada web ini adalah hak cipta dari pasirpantai.com, atau sumber lain yang dicantumkan.
Semua gambar, foto dan video pada web ini adalah hak cipta dari pemiliknya.
Tinggalkan Komentarmu soal pantai Kamali, Bau Bau – Sulawesi Tenggara Dibawah ini: